Legu Gam Moloku Kie Raha
Minggu, 07 Februari 2016
Jumat, 05 Februari 2016
Peninggalan Benteng Bersejarah Di Kota Ternate
BENTENG HOLLANDIA atau BENTENG TOLUKKO
Benteng
Tolluco atau lebih di kenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan Benteng
Toloko, terletak di kelurahan Sangaji, Ternate Utara. Benteng ini disebut
benteng Toloko karena terletak persis di daerah yang bernama Toloko, kelurahan
Sangaji. Benteng Tolluco ini juga disebut dengan benteng Holandia atau Benteng
Santa Lucas.
Benteng
Tolucco dibangun pada tahun 1512 oleh Fransisco Serao setelah Kesultanan
Ternate berdiri. Dibangun kembali oleh Schot pada tahun 1606. Pada tahun 1610
direnovasi oleh Pieter Both yang berkebangsaan Belanda. Sultan Ternate,
Mandarsyah pernah menempati benteng ini pada tahun 1661 dengan seratus enam
puluh (160) pasukan.
Banyak
orang yang heran akan bentuk dari benteng ini. Bentuk benteng yang terhitung
“aneh” menjadi salah satu ciri khas benteng ini. Bahkan ada yang berpendapat
bahwa bentuk “aneh” benteng ini adalah seperti alat kelamin laki-laki. Benteng
ini dibangun dengan batu karang yang kokoh dengan dua bastiong. Berdiri tegak
menjulang diatas tanah yang tinggi dan memiliki posisi yang sangat
menguntungkan jika digunakan sebagai benteng pertahanan dan pengintaian.
Benteng ini berhadapan langsung dengan pulau Halmahera. Dari benteng Tolluco
kearah utara, dapat dijumpai sebuah pelabuhan yang bernama Pelabuhan Dufa-dufa.
Pelabuhan ini menghubungkan masyarakat dari Ternate ke Jailolo (Halmahera
Barat).
Benteng
Tolluco ini sebenarnya memiliki terowongan yang terhubung hingga laut/pantai di
depannya. Namun kini terowongan tersebut ditutup untuk umum karena berbahaya.
Perjalanan untuk mencapai Benteng dari Pusat kota sekitar 20 menit dengan
perjalanan darat.
Benteng
ini dibangun pada tahun 1607 oleh Cornelis Matelief de Jonge (Belanda) dan
diberi nama oleh Francois Wittert pada tahun 1609. Benteng Orange ini semula
berasal dari bekas sebuah benteng tua yang didirikan oleh orang Melayu dan
diberi nama Benteng Malayo. Di dalam benteng ini pernah menjadi pusat
pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) yaitu Pieter Both,
Herald Reynst, Laurenz Reaal, dan Jan P. Coen. Di benteng ini pernah pula
dijadikan sebagai markas besar VOC di Hindia Belanda hingga Gubernur Jenderal
Jan Pieterszoon Coen memindahkan markas besarnya ke Batavia pada tahun 1619.
Benteng ini mampu menunjukkan kemampuan manfaaat daya pertahanannya terhadap
serangan Spanyol, ketika Spanyol menyeberang secara diam-diam pada malam hari
dari benteng Gammalamma (Kastela) melalui lorong yang sukar dengan 250 orang
tiba di benteng Oranje waktu subuh, dapat dipukul mundur oleh Belanda dalam
pertempuran seru satu lawan satu. Belanda dengan empat puluh orang prajuritnya
yang dibantu oleh sekitar seratus orang Ternate mampu mempertahankan benteng.
Perang di benteng Oranje tahun 1606 ternyata merupakan pertempuran serius
antara Belanda dan Spanyol di daerah itu.
Tembok
benteng yang berbahan baku batu bata, batu kali, batu karang dan pecahan kaca,
ini menyisakan 13 buah meriam yang masih insitu di dalam benteng karena tidak
ada bekas aktifitas penempatan baru. Meski dicurigai, beberapa di antaranya
telah hilang dari tempat asalnya, ini dikarenakan pada sudut barat laut sama
sekali tidak ditemukan meriam. Dilihat dari bentuk bangunan pada sudut tersebut
serupa dengan sudut-sudut lainnya sebagai pos penjagaan dan pengintaian.
Hilangnya meriam juga diketahui dari bekas pondasi meriam di lantai II tepat di
atas pintu gerbang.
Ruang-ruang
pada lantai I yang terdapat di sepanjang tembok berada dalam kondisi
memprihatinkan. Pada sudut barat laut bahkan telah tertimbun tanah sekitar,
sehingga sulit untuk diidentifikasi. Pada ruang sepanjang 15,8 m di pintu
gerbang dan pada dinding sisi luarnya terdapat tumpukan batako, yang tidak ada
konteksnya dengan benteng. Begitu pula kondisi bangunan penjagaan di belakang
pintu gerbang, yang tersisa hanyalah puing
Benteng
Kalamata ini biasanya disebut Benteng Santa Lucia atau lebih lebih dikenal
dengan nama Benteng Kayu merah, karena terletak di wilayah kelurahan Kayu
Merah, Kota Ternate Selatan. Benteng ini pertama kali di bangun oleh bangsa
Portugis (Pigafeta) pada tahun 1540 untuk menghadapi serangan Spanyol dari Rum,
Tidore. Benteng ini kemudian dipugar oleh Belanda pada tahun 1609.
Pada
tahun 1625, benteng ini di kosongkan oleh Geen Huigen Schapenham, yang beberapa
tahun sebelumnya tiba dengan armada Nassau di Ternate. Pada tahun 1967 di bawah
pemerintahan Gillis van Zeist, benteng ini dikosongkan untuk selama-lamanya.
Setelah dikosongkan, benteng ini diduduki oleh Spanyol. Nama Benteng ini
diambil dari nama Pangeran Ternate,yaitu pengeran Kalamata yang wafat di Makassar
pada bulan Maret 1676.
Pangeran
Kalamata—adik Sultan Ternate, Madarsyah, yang memberontak) adalah salah seorang
pimpinan ekspedisi perang Makasaar yang dikirim oleh Sultan Hasanudin pada
tahun 1666, menyerang kepulauan Sula, Banggai dan Bungku. Benteng di Kepulauan
Sula diserangnyahabis-habisan. Sepuluh orangBelanda yang tetangkap di benteng
itu di tawan dan dibawa ke Makasar, menjalani hukuman mati.
Ketika
pada tahun 1663 Spanyol meninggalkan Ternate, Belanda kembali menguasai benteng
Kalamata. Dalam tahun 1799 benteng ini diperbaiki oleh Mayor van Lutnow sesuai
dengan rencana almarhum Kolonel Reimer. Dalam perbaikan tersebut di buat juga
parit kedua disekelilingnya dengan kedalaman antara 5-6 kaki dan dilengkapi
sedemikian rupa sehingga merupakan urat nadi.
Sampai
tahun 1989, benteng ini terbengkalai. Bahkan dibiarkan begitu saja pengambilan
pasir di sekelilingnya sehingga terjadi abrasi dan mengakibatkan sebagian besar
benteng tergenang air laut dan mengalami kerusakan besar. Pada tahun 1994, benteng
ini dipugar oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sehingga menjadi utuh
kembali tanpa mengurangi bentuk asli benteng.
Pada
tahun 2005, Pemerintah Kota Ternate merenovasi benteng ini dengan menambahkan
halaman dan rumah untuk penjaga benteng Kalamata. Namun hingga kini, Benteng
Kalamata belum dioptimalkan untuk menjadi tempat pariwisata andalan sehingga
tidak memberikan pemasukan bagi Pemerintah Kota Ternate.
Benteng ini dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-18. Letaknya hanya beberapa meter di samping kiri Kedaton (Keraton) Sultan Ternate di atas sebuah bukit. Benteng ini diberi nama sesuai dengan penyebutan ”naka” (nangka), yang menurut masyarakat sekitar hal itu berkaitan dengan aroma nangka yang dapat tercium dari kejauhan. Apakah pernah terdapat pohon nangka, sejauh ini tidak dapat diketahui dengan pasti. Ini dipersamakan dengan dengan fungsi benteng ini, yaitu untuk mengawasi gerak-gerik sultan dalam menyelenggarakan pemerintahan selain untuk benteng pertahanan Belanda. Artinya bahwa berita dari benteng ini lebih cepat menyebar di masyarakat tentang kondisi kerajaan.
Saat
ini benteng Kota Naka telah mengalami penambahan struktur temboknya, meninggi 2
(dua) meter dari batas atas tembok aslinya. Begitu pun dengan bangunan di
dalamnya, kini merupakan rumah kecil dalam bentuk kebanyakan. Pada dinding
tembok bagian depan, telah berubah menjadi hiasan dinding mirip dinding kolam
taman.
Benteng
Kota Janji terletak di Jalan Ngade, Dusun Laguna, Desa Fitu, Kecamatan Ternate
Selatan, Provinsi Maluku Utara. Lokasi benteng ini
berada di pinggir jalan utama menuju Kota Ternate dari
arah selatan.
Berdasarkan
sejarahnya, benteng Kota Janji ini dibangun pada tahun 1532 oleh Portugis dan
diberi nama Benteng San Jao. Namun karena insiden pembunuhan Sultan Khairun
dari Ternate, Portugis diusir dari Pulau Ternate oleh Kesultanan Ternate yang
saat itu dipimpin oleh Sultan Babullah pada tahun 1575. Benteng ini kemudian
dikuasai oleh pasukan Spanyol pimpinan Gubernur Don Pedro de Acuna yang datang
dari Manila pada tahun 1606 yang ingin menguasai Pulau Ternate.
Pada
tahun 1610, benteng ini diperkuat oleh Spanyol dengan menempatkan 27
prajuritnya dan 20 prajurit papangger (prajurit yang terdiri dari orang-orang
Filipina) lengkap dengan 6 meriam beserta amunisinya. Benteng ini kemudian
diberi nama Santo Pedro Y Paulo, untuk menghormati Gubernur Pedro. Benteng ini
oleh Spanyol selain digunakan untuk mengawasi perairan antara Pulau Ternate dan
Tidore, benteng ini juga memiliki peran sebagai basis militer. Jika kondisi
laut sedang tenang, armada-armada Spanyol yang berlayar dari Filipina dapat
berlabuh di pesisir pantai sebelah selatan dari benteng ini yang sekaligus
dapat memudahkan untuk melakukan mobilisasi prajurit dan logistik mereka ke
benteng ini.
Benteng
yang berdenah trapesium ini berukuran 20 x 20 m berdiri di atas lahan dengan
luas sekitar 2.147,25 m², dan berada pada ketinggian 50 m di atas permukaan
laut. Benteng yang konon terbilang megah ini kini telah runtuh. Bagian benteng
yang masih dapat disaksikan sekarang hanyalah bagian dinding luarnya yang
tersusun dari batu kali (andesit), batu karang, dan campuran pasir dengan
kapur, sedangkan bagian dalam sudah tertimbun dengan tanah. Pada sisi timur
benteng, terdapat tangga yang mengarah naik ke atas benteng di mana di sekitar
itu terdapat semacam kolam yang telah mengering.
Benteng
ini di kemudian hari dikenal dengan sebutan Benteng Kota Janji hingga sekarang.
Dinamakan benteng Kota Janji karena benteng ini pernah menjadi saksi perjanjian
damai antara Sultan Khairun dengan Gubernur Portugis saat itu, Diego Lopes de
Muspito. Akan tetapi Portugis ingkar, dan melakukan pengkhianatan dengan cara
membunuh Sultan Khairun di Benteng Kastela yang tidak begitu jauh dari benteng
Kota Janji ini.
Tahun
1989, benteng ini tampak terbengkalai dan dibiarkan begitu saja. Pengambilan
pasir di sekeliling benteng juga diabaikan hingga terjadi abrasi dan sebagian
besar benteng tergenang air laut. Baru pada 1994 silam, benteng ini kembali
dipugar oleh Departemen pendidikan dan Kebudayaan sehingga kembali utuh tanpa
mengurangi bentuk asli benteng.
Banyak
keindahan alam yang bisa dinikmati di benteng yang di dalamnya terdapat 4
bastian dan sebuah sumur ini. View yang ditunjukkan dari benteng ini adalah
hamparan pulau-pulau di depan Ternate. Salah satunya adalah pemandangan yang
tergambar dalam uang kertas pecahan Rp1.000 yakni pulau Tidore dan Maitara.
Benteng ini pernah direhabilitasi
pada tahun 2004, namun
sebatas menyelamatkan daerah yang menjadi kawasan cagar budaya dengan
mempercantik kawasan tersebut sebagai salah satu tujuan wisata. Beberapa pagar dibangun untuk mengelilingi
benteng dan taman, sedangkan
wujud sesungguhnya benteng ini tidaklah terlihat lagi
Benteng
Kastela adalah benteng peninggalan Portugis yang dikenal juga dengan nama
Benteng Gamlamo. Benteng Kastela terletak di Jalan Raya Benteng Kastela Santo
Paulo, Desa Kastela, Kecamatan Pulau Ternate, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. Lokasi benteng ini berada di sebelah
utara kawasan wisata Pantai Kastela.
Menurut
catatan sejarah, setelah Malaka ditaklukkan oleh Portugis pada tahun 1511,
Laksamana Alfonso d’Alburquerque mengirim Antonio de Abreu dan Francisco Serrao
dengan armada yang terdiri dari tiga kapal ke Maluku pada Desember 1511. Dalam
bulan Januari 1512, mereka tiba di Banda. Setelah beberapa waktu di Ambon,
karena mengalami naas dengan karamnya kapal yang ditumpangi, kemudian Serrao
dijemput utusan Sultan Ternate dan dibawa ke Ternate pada awal 1512.
Kedatangan Francisco Serrao di Ternate adalah kedatangan seorang pejabat pertama Eropa – dalam hal ini Portugis – dari sebuah program eksplorasi penguasa Portugis yang ambisius dan telah dimulai sejak pertengahan abad ke-15. Ekspansi Portugis ke Maluku dalam rangka menemukan Kepulauan Rempah-Rempah (the spice islands). Mereka seolah-olah berjudi dengan nasib dan mempertaruhkan segalanya dalam upaya memperoleh monopoli perniagaan rempah-rempah yang kala itu menjadi komoditas mewah di pasaran Eropa yang menjanjikan keuntungan yang fantastis. Kemudian mereka mempertahankannya dengan segala daya dan upaya, baik politik, ekonomi, maupun kekuatan militer sekalipun.
Francisco
Serrao adalah seorang fungsionaris Portugis pertama yang berhasil merundingkan
hak-hak monopoli negerinya atas perdagangan rempah-rempah dan hak eksklusif
pendirian benteng Portugis di Gamlamo dengan SultanTernate, Sultan Bayanullah
(Boleif).
Akhirnya,
pada tahun 1520, Raja Portugis, Don Manuel, mengirim Jorge de Brito untuk
membangun benteng Portugis di Gamlamo, Ternate, dan menunjuk adik Jorge de
Brito, yaitu Antonio de Brito, sebagai komandan benteng tersebut. Benteng yang
dibangun Portugis itu diberi nama Nostra Senhora de Rosario (Wanita Cantik
Berkalung Bunga Mawar), tetapi lebih dikenal sebagai benteng Gamlamo oleh
penduduk lokal, dan sekarang berubah nama menjadi benteng Kastela karena
lokasinya yang berada di Desa Kastela.
Benteng
Kastela ini dibangun oleh Portugis secara bertahap selama kurun waktu kurang
lebih 20 tahun. Setelah menyelesaikan pembangunan benteng ini pada tahap awal,
pada tahun 1521 Jorge de Brito kembali ke Goa (India Barat) namun belum sampai
di sana ia telah tewas dalam salah satu pertempuran di Aceh. Kemudian
dilanjutkan oleh Garcia Henriquez pada tahun 1525, pada tahun 1530 giliran
Gonsalo Pereira yang melanjutkan pembangunan, hingga pada tahun 1540 benteng
ini dirampungkan oleh Jorge de Castro.
Hingga
1569, benteng Gamlamo merupakan satu-satunya benteng yang berdiri di luar
Malaka. Setelah itu, baru dibangun benteng-benteng yang lain di Ambon, Jailolo,
Moro (Tolo dan Samafo), Banda dan Makassar. Tetapi, benteng-benteng yang
dibangun belakangan itu lebih mirip rumah kembar ketimbang benteng yang
sesungguhnya. Pada benteng tersebut tidak terdapat seorang kapten yang diangkat
Raja Portugis, seperti pada benteng Gamlamo di Ternate.
Pada
tanggal 27 Februari 1570, terjadi peristiwa pembunuhan Sultan Khairun Jamil
dengan keji di benteng ini oleh Antonio Pimental atas perintah Diego Lopez de
Mesquita, Gubernur Portugis ke-18, melalui tipu daya dan muslihat.
Babullah, pewaris tahta Kesultanan Ternate, menuntut agar Diego Lopez de Mesquita diajukan ke pengadilan dan dihukum atas kejahatan pembunuhan. Ketika tuntutan ini ditolak, Babullah dan rakyat Ternate mengepung benteng Gamlamo selama 4 tahun (1574-1578) dan mengultimatum agar Portugis segera hengkang dari Ternate. Dalam kondisi yang seperti itu, mulailah evakuasi besar-besaran orang Portugis dari Ternate, mula-mula ke Tidore sebagai tempat transit, dan kemudian ke Goa. Ketika bala bantuan Portugis dari Goa dan Malaka tiba, keadaan sudah terlambat. Pimpinan armada Portugis hanya dapat menyaksikan puing-puing kekuasaan Portugis di Ternate. Gubernur berikut perangkatnya, misionaris dan orang-orang Portugis lainnya telah meninggalkan Ternate dengan meratapi kekalahan dan masa lampau mereka yang penuh kekerasan, arogansi dan pertumpahan darah. Mereka pergi dengan membawa serta kenangan buruk yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya bahwa mereka harus menghadapi akhir kekuasaannya secara menyedihkan.
Pada
tahun 1606, Gubernur Spanyol Don Pedro da Cunha menyerbu dan menguasai benteng
ini. Namun, sejak VOC melancarkan kegiatan niaganya secara intens, Spanyol
ternyata tidak mampu bersaing dengannya dan hanya mampu bertahan karena
kemurahan hati para Gubernur Belanda yang ada di Ternate. Oleh sebab itu, pada
1662 otoritas Spanyol di Manila memutuskan menutup garnisunnya di Maluku dan
menarik kembali pasukan-pasukannya dari Maluku untuk menghadapi penyerbuan
besar-besaran bajak laut Tiongkok yang akan mengambil alih Manila. Pada 1663,
penarikan pasukan Spanyol dari Maluku dimulai, dan sebelum diberangkatkan ke
Manila, pasukan Spanyol sempat membumihanguskan benteng Gamlamo agar tak
direbut oleh Belanda.
Benteng
Kastela ini memiliki lahan seluas 2.724 m² dengan bentuk persegi empat, dan
tersusun dari batu gunung dan batu kapur. Bagian-bagian benteng Kastela yang
sekarang masih bisa diidentifikasi hanyalah bastion dan menaranya saja,
sedangkan sisanya hanya berupa reruntuhan. Kendati demikian, benteng pertama
peninggalan Portugis ini masih memperlihatkan sisa kemegahannya di atas
puing-puing yang ada.
Dulu,
di dalam benteng ini terdapat sebuah lonceng buatan Perio Diaz Bocarro tahun
1603 yang didatangkan langsung dari Portugal. Ketika Portugis meninggalkan
Ternate, lonceng bersejarah itu dipindahkan VOC dan digantung di pintu masuk Fort Oranje hingga 1950, dan sejak 1951
dipindahkan dan disimpan pada gereja Katolik (Gereja Batu) di Ternate. Tetapi
saat ini lonceng tersebut telah ada lagi di tempat tersebut.
Langganan:
Postingan (Atom)