Jumat, 05 Februari 2016

Peninggalan Benteng Bersejarah Di Kota Ternate


BENTENG HOLLANDIA atau  BENTENG TOLUKKO


Benteng Tolluco atau lebih di kenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan Benteng Toloko, terletak di kelurahan Sangaji, Ternate Utara. Benteng ini disebut benteng Toloko karena terletak persis di daerah yang bernama Toloko, kelurahan Sangaji. Benteng Tolluco ini juga disebut dengan benteng Holandia atau Benteng Santa Lucas.
Benteng Tolucco dibangun pada tahun 1512 oleh Fransisco Serao setelah Kesultanan Ternate berdiri. Dibangun kembali oleh Schot pada tahun 1606. Pada tahun 1610 direnovasi oleh Pieter Both yang berkebangsaan Belanda. Sultan Ternate, Mandarsyah pernah menempati benteng ini pada tahun 1661 dengan seratus enam puluh (160) pasukan.

Banyak orang yang heran akan bentuk dari benteng ini. Bentuk benteng yang terhitung “aneh” menjadi salah satu ciri khas benteng ini. Bahkan ada yang berpendapat bahwa bentuk “aneh” benteng ini adalah seperti alat kelamin laki-laki. Benteng ini dibangun dengan batu karang yang kokoh dengan dua bastiong. Berdiri tegak menjulang diatas tanah yang tinggi dan memiliki posisi yang sangat menguntungkan jika digunakan sebagai benteng pertahanan dan pengintaian. Benteng ini berhadapan langsung dengan pulau Halmahera. Dari benteng Tolluco kearah utara, dapat dijumpai sebuah pelabuhan yang bernama Pelabuhan Dufa-dufa. Pelabuhan ini menghubungkan masyarakat dari Ternate ke Jailolo (Halmahera Barat).


Benteng Tolluco ini sebenarnya memiliki terowongan yang terhubung hingga laut/pantai di depannya. Namun kini terowongan tersebut ditutup untuk umum karena berbahaya. Perjalanan untuk mencapai Benteng dari Pusat kota sekitar 20 menit dengan perjalanan darat.

BENTENG ORANJE

Benteng ini dibangun pada tahun 1607 oleh Cornelis Matelief de Jonge (Belanda) dan diberi nama oleh Francois Wittert pada tahun 1609. Benteng Orange ini semula berasal dari bekas sebuah benteng tua yang didirikan oleh orang Melayu dan diberi nama Benteng Malayo. Di dalam benteng ini pernah menjadi pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) yaitu Pieter Both, Herald Reynst, Laurenz Reaal, dan Jan P. Coen. Di benteng ini pernah pula dijadikan sebagai markas besar VOC di Hindia Belanda hingga Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen memindahkan markas besarnya ke Batavia pada tahun 1619. Benteng ini mampu menunjukkan kemampuan manfaaat daya pertahanannya terhadap serangan Spanyol, ketika Spanyol menyeberang secara diam-diam pada malam hari dari benteng Gammalamma (Kastela) melalui lorong yang sukar dengan 250 orang tiba di benteng Oranje waktu subuh, dapat dipukul mundur oleh Belanda dalam pertempuran seru satu lawan satu. Belanda dengan empat puluh orang prajuritnya yang dibantu oleh sekitar seratus orang Ternate mampu mempertahankan benteng. Perang di benteng Oranje tahun 1606 ternyata merupakan pertempuran serius antara Belanda dan Spanyol di daerah itu.
Tembok benteng yang berbahan baku batu bata, batu kali, batu karang dan pecahan kaca, ini menyisakan 13 buah meriam yang masih insitu di dalam benteng karena tidak ada bekas aktifitas penempatan baru. Meski dicurigai, beberapa di antaranya telah hilang dari tempat asalnya, ini dikarenakan pada sudut barat laut sama sekali tidak ditemukan meriam. Dilihat dari bentuk bangunan pada sudut tersebut serupa dengan sudut-sudut lainnya sebagai pos penjagaan dan pengintaian. Hilangnya meriam juga diketahui dari bekas pondasi meriam di lantai II tepat di atas pintu gerbang.


Ruang-ruang pada lantai I yang terdapat di sepanjang tembok berada dalam kondisi memprihatinkan. Pada sudut barat laut bahkan telah tertimbun tanah sekitar, sehingga sulit untuk diidentifikasi. Pada ruang sepanjang 15,8 m di pintu gerbang dan pada dinding sisi luarnya terdapat tumpukan batako, yang tidak ada konteksnya dengan benteng. Begitu pula kondisi bangunan penjagaan di belakang pintu gerbang, yang tersisa hanyalah puing


BENTENG SANTA LUCIA atau BENTENG KALAMATA


Benteng Kalamata ini biasanya disebut Benteng Santa Lucia atau lebih lebih dikenal dengan nama Benteng Kayu merah, karena terletak di wilayah kelurahan Kayu Merah, Kota Ternate Selatan. Benteng ini pertama kali di bangun oleh bangsa Portugis (Pigafeta) pada tahun 1540 untuk menghadapi serangan Spanyol dari Rum, Tidore. Benteng ini kemudian dipugar oleh Belanda pada tahun 1609.

Pada tahun 1625, benteng ini di kosongkan oleh Geen Huigen Schapenham, yang beberapa tahun sebelumnya tiba dengan armada Nassau di Ternate. Pada tahun 1967 di bawah pemerintahan Gillis van Zeist, benteng ini dikosongkan untuk selama-lamanya. Setelah dikosongkan, benteng ini diduduki oleh Spanyol. Nama Benteng ini diambil dari nama Pangeran Ternate,yaitu pengeran Kalamata yang wafat di Makassar pada bulan Maret 1676.

Pangeran Kalamata—adik Sultan Ternate, Madarsyah, yang memberontak) adalah salah seorang pimpinan ekspedisi perang Makasaar yang dikirim oleh Sultan Hasanudin pada tahun 1666, menyerang kepulauan Sula, Banggai dan Bungku. Benteng di Kepulauan Sula diserangnyahabis-habisan. Sepuluh orangBelanda yang tetangkap di benteng itu di tawan dan dibawa ke Makasar, menjalani hukuman mati.

Ketika pada tahun 1663 Spanyol meninggalkan Ternate, Belanda kembali menguasai benteng Kalamata. Dalam tahun 1799 benteng ini diperbaiki oleh Mayor van Lutnow sesuai dengan rencana almarhum Kolonel Reimer. Dalam perbaikan tersebut di buat juga parit kedua disekelilingnya dengan kedalaman antara 5-6 kaki dan dilengkapi sedemikian rupa sehingga merupakan urat nadi.

Sampai tahun 1989, benteng ini terbengkalai. Bahkan dibiarkan begitu saja pengambilan pasir di sekelilingnya sehingga terjadi abrasi dan mengakibatkan sebagian besar benteng tergenang air laut dan mengalami kerusakan besar. Pada tahun 1994, benteng ini dipugar oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sehingga menjadi utuh kembali tanpa mengurangi bentuk asli benteng.

Pada tahun 2005, Pemerintah Kota Ternate merenovasi benteng ini dengan menambahkan halaman dan rumah untuk penjaga benteng Kalamata. Namun hingga kini, Benteng Kalamata belum dioptimalkan untuk menjadi tempat pariwisata andalan sehingga tidak memberikan pemasukan bagi Pemerintah Kota Ternate.


BENTENG KOTANAKA


Benteng ini dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-18. Letaknya hanya beberapa meter di samping kiri Kedaton (Keraton) Sultan Ternate di atas sebuah bukit. Benteng ini diberi nama sesuai dengan penyebutan ”naka” (nangka), yang menurut masyarakat sekitar hal itu berkaitan dengan aroma nangka yang dapat tercium dari kejauhan. Apakah pernah terdapat pohon nangka, sejauh ini tidak dapat diketahui dengan pasti. Ini dipersamakan dengan dengan fungsi benteng ini, yaitu untuk mengawasi gerak-gerik sultan dalam menyelenggarakan pemerintahan selain untuk benteng pertahanan Belanda. Artinya bahwa berita dari benteng ini lebih cepat menyebar di masyarakat tentang kondisi kerajaan.



Saat ini benteng Kota Naka telah mengalami penambahan struktur temboknya, meninggi 2 (dua) meter dari batas atas tembok aslinya. Begitu pun dengan bangunan di dalamnya, kini merupakan rumah kecil dalam bentuk kebanyakan. Pada dinding tembok bagian depan, telah berubah menjadi hiasan dinding mirip dinding kolam taman.

BENTENG SANTO Y PABLO atau BENTENG KOTA JANJI

Benteng Kota Janji terletak di Jalan Ngade, Dusun Laguna, Desa Fitu, Kecamatan Ternate Selatan, Provinsi Maluku Utara. Lokasi benteng ini berada di pinggir jalan utama menuju Kota Ternate dari arah selatan. 



Berdasarkan sejarahnya, benteng Kota Janji ini dibangun pada tahun 1532 oleh Portugis dan diberi nama Benteng San Jao. Namun karena insiden pembunuhan Sultan Khairun dari Ternate, Portugis diusir dari Pulau Ternate oleh Kesultanan Ternate yang saat itu dipimpin oleh Sultan Babullah pada tahun 1575. Benteng ini kemudian dikuasai oleh pasukan Spanyol pimpinan Gubernur Don Pedro de Acuna yang datang dari Manila pada tahun 1606 yang ingin menguasai Pulau Ternate.

Pada tahun 1610, benteng ini diperkuat oleh Spanyol dengan menempatkan 27 prajuritnya dan 20 prajurit papangger (prajurit yang terdiri dari orang-orang Filipina) lengkap dengan 6 meriam beserta amunisinya. Benteng ini kemudian diberi nama Santo Pedro Y Paulo, untuk menghormati Gubernur Pedro. Benteng ini oleh Spanyol selain digunakan untuk mengawasi perairan antara Pulau Ternate dan Tidore, benteng ini juga memiliki peran sebagai basis militer. Jika kondisi laut sedang tenang, armada-armada Spanyol yang berlayar dari Filipina dapat berlabuh di pesisir pantai sebelah selatan dari benteng ini yang sekaligus dapat memudahkan untuk melakukan mobilisasi prajurit dan logistik mereka ke benteng ini.

Benteng yang berdenah trapesium ini berukuran 20 x 20 m berdiri di atas lahan dengan luas sekitar 2.147,25 m², dan berada pada ketinggian 50 m di atas permukaan laut. Benteng yang konon terbilang megah ini kini telah runtuh. Bagian benteng yang masih dapat disaksikan sekarang hanyalah bagian dinding luarnya yang tersusun dari batu kali (andesit), batu karang, dan campuran pasir dengan kapur, sedangkan bagian dalam sudah tertimbun dengan tanah. Pada sisi timur benteng, terdapat tangga yang mengarah naik ke atas benteng di mana di sekitar itu terdapat semacam kolam yang telah mengering.


Benteng ini di kemudian hari dikenal dengan sebutan Benteng Kota Janji hingga sekarang. Dinamakan benteng Kota Janji karena benteng ini pernah menjadi saksi perjanjian damai antara Sultan Khairun dengan Gubernur Portugis saat itu, Diego Lopes de Muspito. Akan tetapi Portugis ingkar, dan melakukan pengkhianatan dengan cara membunuh Sultan Khairun di Benteng Kastela yang tidak begitu jauh dari benteng Kota Janji ini.

Tahun 1989, benteng ini tampak terbengkalai dan dibiarkan begitu saja. Pengambilan pasir di sekeliling benteng juga diabaikan hingga terjadi abrasi dan sebagian besar benteng tergenang air laut. Baru pada 1994 silam, benteng ini kembali dipugar oleh Departemen pendidikan dan Kebudayaan sehingga kembali utuh tanpa mengurangi bentuk asli benteng.

Banyak keindahan alam yang bisa dinikmati di benteng yang di dalamnya terdapat 4 bastian dan sebuah sumur ini. View yang ditunjukkan dari benteng ini adalah hamparan pulau-pulau di depan Ternate. Salah satunya adalah pemandangan yang tergambar dalam uang kertas pecahan Rp1.000 yakni pulau Tidore dan Maitara.

Benteng ini pernah direhabilitasi pada tahun 2004, namun sebatas menyelamatkan daerah yang menjadi kawasan cagar budaya dengan mempercantik kawasan tersebut sebagai salah satu tujuan wisata. Beberapa pagar dibangun untuk mengelilingi benteng dan taman, sedangkan wujud sesungguhnya benteng ini tidaklah terlihat lagi



BENTENG NUSTRA SE NOHRA DEL ROSARIO atau BENTENG KASTELA

Benteng Kastela adalah benteng peninggalan Portugis yang dikenal juga dengan nama Benteng Gamlamo. Benteng Kastela terletak di Jalan Raya Benteng Kastela Santo Paulo, Desa Kastela, Kecamatan Pulau Ternate, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. Lokasi benteng ini berada di sebelah utara kawasan wisata Pantai Kastela. 

Menurut catatan sejarah, setelah Malaka ditaklukkan oleh Portugis pada tahun 1511, Laksamana Alfonso d’Alburquerque mengirim Antonio de Abreu dan Francisco Serrao dengan armada yang terdiri dari tiga kapal ke Maluku pada Desember 1511. Dalam bulan Januari 1512, mereka tiba di Banda. Setelah beberapa waktu di Ambon, karena mengalami naas dengan karamnya kapal yang ditumpangi, kemudian Serrao dijemput utusan Sultan Ternate dan dibawa ke Ternate pada awal 1512.


Kedatangan Francisco Serrao di Ternate adalah kedatangan seorang pejabat pertama Eropa – dalam hal ini Portugis – dari sebuah program eksplorasi penguasa Portugis yang ambisius dan telah dimulai sejak pertengahan abad ke-15. Ekspansi Portugis ke Maluku dalam rangka menemukan Kepulauan Rempah-Rempah (the spice islands). Mereka seolah-olah berjudi dengan nasib dan mempertaruhkan segalanya dalam upaya memperoleh monopoli perniagaan rempah-rempah yang kala itu menjadi komoditas mewah di pasaran Eropa yang menjanjikan keuntungan yang fantastis. Kemudian mereka mempertahankannya dengan segala daya dan upaya, baik politik, ekonomi, maupun kekuatan militer sekalipun. 

Francisco Serrao adalah seorang fungsionaris Portugis pertama yang berhasil merundingkan hak-hak monopoli negerinya atas perdagangan rempah-rempah dan hak eksklusif pendirian benteng Portugis di Gamlamo dengan SultanTernate, Sultan Bayanullah (Boleif). 

Akhirnya, pada tahun 1520, Raja Portugis, Don Manuel, mengirim Jorge de Brito untuk membangun benteng Portugis di Gamlamo, Ternate, dan menunjuk adik Jorge de Brito, yaitu Antonio de Brito, sebagai komandan benteng tersebut. Benteng yang dibangun Portugis itu diberi nama Nostra Senhora de Rosario (Wanita Cantik Berkalung Bunga Mawar), tetapi lebih dikenal sebagai benteng Gamlamo oleh penduduk lokal, dan sekarang berubah nama menjadi benteng Kastela karena lokasinya yang berada di Desa Kastela.

Benteng Kastela ini dibangun oleh Portugis secara bertahap selama kurun waktu kurang lebih 20 tahun. Setelah menyelesaikan pembangunan benteng ini pada tahap awal, pada tahun 1521 Jorge de Brito kembali ke Goa (India Barat) namun belum sampai di sana ia telah tewas dalam salah satu pertempuran di Aceh. Kemudian dilanjutkan oleh Garcia Henriquez pada tahun 1525, pada tahun 1530 giliran Gonsalo Pereira yang melanjutkan pembangunan, hingga pada tahun 1540 benteng ini dirampungkan oleh Jorge de Castro. 

Hingga 1569, benteng Gamlamo merupakan satu-satunya benteng yang berdiri di luar Malaka. Setelah itu, baru dibangun benteng-benteng yang lain di Ambon, Jailolo, Moro (Tolo dan Samafo), Banda dan Makassar. Tetapi, benteng-benteng yang dibangun belakangan itu lebih mirip rumah kembar ketimbang benteng yang sesungguhnya. Pada benteng tersebut tidak terdapat seorang kapten yang diangkat Raja Portugis, seperti pada benteng Gamlamo di Ternate. 

Pada tanggal 27 Februari 1570, terjadi peristiwa pembunuhan Sultan Khairun Jamil dengan keji di benteng ini oleh Antonio Pimental atas perintah Diego Lopez de Mesquita, Gubernur Portugis ke-18, melalui tipu daya dan muslihat. 


Babullah, pewaris tahta Kesultanan Ternate, menuntut agar Diego Lopez de Mesquita diajukan ke pengadilan dan dihukum atas kejahatan pembunuhan. Ketika tuntutan ini ditolak, Babullah dan rakyat Ternate mengepung benteng Gamlamo selama 4 tahun (1574-1578) dan mengultimatum agar Portugis segera hengkang dari Ternate. Dalam kondisi yang seperti itu, mulailah evakuasi besar-besaran orang Portugis dari Ternate, mula-mula ke Tidore sebagai tempat transit, dan kemudian ke Goa. Ketika bala bantuan Portugis dari Goa dan Malaka tiba, keadaan sudah terlambat. Pimpinan armada Portugis hanya dapat menyaksikan puing-puing kekuasaan Portugis di Ternate. Gubernur berikut perangkatnya, misionaris dan orang-orang Portugis lainnya telah meninggalkan Ternate dengan meratapi kekalahan dan masa lampau mereka yang penuh kekerasan, arogansi dan pertumpahan darah. Mereka pergi dengan membawa serta kenangan buruk yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya bahwa mereka harus menghadapi akhir kekuasaannya secara menyedihkan. 


Pada tahun 1606, Gubernur Spanyol Don Pedro da Cunha menyerbu dan menguasai benteng ini. Namun, sejak VOC melancarkan kegiatan niaganya secara intens, Spanyol ternyata tidak mampu bersaing dengannya dan hanya mampu bertahan karena kemurahan hati para Gubernur Belanda yang ada di Ternate. Oleh sebab itu, pada 1662 otoritas Spanyol di Manila memutuskan menutup garnisunnya di Maluku dan menarik kembali pasukan-pasukannya dari Maluku untuk menghadapi penyerbuan besar-besaran bajak laut Tiongkok yang akan mengambil alih Manila. Pada 1663, penarikan pasukan Spanyol dari Maluku dimulai, dan sebelum diberangkatkan ke Manila, pasukan Spanyol sempat membumihanguskan benteng Gamlamo agar tak direbut oleh Belanda. 

Benteng Kastela ini memiliki lahan seluas 2.724 m² dengan bentuk persegi empat, dan tersusun dari batu gunung dan batu kapur. Bagian-bagian benteng Kastela yang sekarang masih bisa diidentifikasi hanyalah bastion dan menaranya saja, sedangkan sisanya hanya berupa reruntuhan. Kendati demikian, benteng pertama peninggalan Portugis ini masih memperlihatkan sisa kemegahannya di atas puing-puing yang ada. 
Dulu, di dalam benteng ini terdapat sebuah lonceng buatan Perio Diaz Bocarro tahun 1603 yang didatangkan langsung dari Portugal. Ketika Portugis meninggalkan Ternate, lonceng bersejarah itu dipindahkan VOC dan digantung di pintu masuk Fort Oranje hingga 1950, dan sejak 1951 dipindahkan dan disimpan pada gereja Katolik (Gereja Batu) di Ternate. Tetapi saat ini lonceng tersebut telah ada lagi di tempat tersebut.